Kini dilanjutkan dahulu kisah tentang Kiyai Parembu. Kiyai dengan gigih
mentaati perintah Dalem Wayan mengejar Dalem Tarukan ke hutan-hutan
pegunungan sebelah utara. Disertai putranya bernama Kiyai Wayahan
Kutawaringin, pasukan Dulang Mangap menyelusup menyelidiki dan
mencari persembunyian Dalem Tarukan, namun tidak pernah berhasil.
Kadangkala ada yang memberikan informasi lokasi persembunyian beliau,
tetapi ternyata informasinya menyesatkan. Arah pencarian Kiyai menuju
gunung Tulukbiyu, lalu bertemu dengan Jero Dukuh Sekar. Ketika ditanya,
Jero Dukuh berlaku pikun serta memberi jawaban sekenanya. Dengan
perasaan kesal dan putus asa Kiyai meneruskan pencariannya tanpa arah
yang jelas. Tiba di suatu tempat Kiyai duduk di bawah pohon tua yang
rindang. Perasaan Kiyai tidak menentu: kesal, malu, merasa tak berharga
karena tidak dapat menunaikan tugas, walaupun sudah diupayakan dengan
sekuat tenaga.
Pasukan Dulang Mangap terpecah dua; sebagian besar sudah kembali ke
Gelgel karena mendengar Dalem Ketut sudah bertahta di Gelgel. Kini
pasukannya bersisa empat puluh orang. Hanya itulah yang masih setia
mengikuti, namun sudah ada tanda-tanda mereka jemu dan kepayahan.
Kiyai merenung dan timbul pikirannya yang terang. Ditanyailah dirinya
sendiri, apa sebenarnya manfaat tugas yang diembannya bagi kerajaan.
Bukankah perintah Dalem Wayan hanya sebuah perintah emosional yang
menuruti kemarahan sesaat ? Di samping itu berita yang didengar,
seolah-olah Dalem Wayan sudah digeser kedudukannya oleh Dalem Ketut.
Lalu untuk siapa kini ia mengabdi ? Tetapi jika melalaikan tugas bukankah ia
sudah banyak berhutang budi kepada Dalem Wayan ? Kebingungan pikiran
Kiyai rupanya diketahui oleh putra dan para pengikutnya.
Seorang pembantunya memberanikan diri menyampaikan pendapat sebagai
berikut : "ya, paduka Gusti, hamba mengerti bahwa hati tuan kecewa karena
tidak berhasil mencari Dalem Tarukan. Namun jika tuan berkenan, hamba
menghaturkan pendapat bahwa Ida Sanghyang Widhi Wasa telah
melindungi Ide Bethara Dalem Tarukan sehingga beliau terhindar dari mara
bahaya. Hidup dan mati semuanya ada di tangan-Nya; jika belum
diperkenankan, apapun upaya manusia untuk membunuh sesama manusia
tidak akan terlaksana. Oleh karena itu janganlah paduka menyesali diri
terlampau berkepanjangan. Sebaiknya putuskanlah apa yang akan kita
lakukan sekarang"
Mendengar ucapan pembantunya demikian, mantaplah hati Kiyai Parembu;
segera ia bangkit berdiri seraya berkata: "Hai kamu sekalian, memang benar
seperti apa yang dikatakan temanmu ini; tidak ada yang dapat melawan
kehendak Ide Sanghyang Widhi, hanya Beliau yang kuasa mengatur soal
hidup atau mati. Perasaan kita saat ini sama, yaitu rasa malu yang menusuk
hati karena tidak dapat menyelesaikan tugas. Karenanya aku telah
memutuskan tidak kembali ke Gelgel. Kita menetap di sini saja membuka
lembaran sejarah baru; siapa yang setuju boleh mengikuti saya; yang tidak
setuju silahkan kembali ke Gelgel" Para pengikutnya serempak menjawab
setuju. Tidak seorangpun berniat kembali ke Gelgel. Dengan riang gembira
mereka bersama-sama membangun pedesaan kecil, membuka sawah
ladang dan hidup sebagai petani. Desa itu dinamakan Bugbug Tegeh.
Adanya desa baru cepat tersiar ke desa-desa sekitarnya. Kiyai Poh Tegeh
lalu mengirim utusan mengundang Kiyai Parembu. Kiyai Parembu merasa
khawatir, karena tahu bahwa Kiyai Poh Tegeh memihak Dalem Tarukan.
Semalam suntuk Kiyai Parembu berunding dengan putranya, Kiyai Wayahan
Kutawaringin apakah akan memenuhi undangan itu atau menolak. Hingga
larut malam belum ada keputusan, sampai keduanya tertidur kelelahan.
Kiyai Wayahan Kutawaringin bermimpi ditemui seorang bidadari yang cantik
jelita, bahkan bercengkrama mesra di sebuah taman yang indah.
Keesokan hari mimpi itu diceritakannya kepada sang ayah. "Wah itu
pertanda baik, mari kita segera berangkat ke Poh Tegeh" Menjelang sore
mereka berdua tiba di Poh Tegeh, disambut dengan ramah oleh seorang
gadis cantik yang kebetulan melintas di depan pemedal. Bagaikan dipukul
palu godam detak jantung Kiyai Wayahan Waringin memandang kecantikan
gadis itu. Bagaimana mungkin, bidadari yang diimpikan semalam berwujud
persis dia.
Sedang terkesima demikian tiba-tiba tegur sapa Kiyai Poh Tegeh
menyadarkan Kiyai Wayahan Kutawaringin. "Adinda Kiyai Parembu, betapa
bahagianya kakanda hari ini karena dinda bersedia memenuhi undangan"
Kiyai Parembu menjawab : "ya kakanda, maafkanlah dinda karena baru kali
ini dapat berjumpa; dinda merasa seperti manusia yang tidak berharga dan
tak berguna sehingga kelahiran dinda sia-sia belaka. Dinda tidak dapat
mengemban tugas sebagai seorang kesatria sejati. Seharusnya dinda
bunuh diri saja karena tiada tahan menanggung malu" Wajah Kiyai
Parembu sedih memelas; cepat Kiyai Poh Tegeh menjawab: "dinda, Kiyai
Parembu, tidak seorang pun akan menyalahkan serta merendahkan dinda,
karena Ide Bethara Dalem Tarukan dilindungi Sanghyang Widhi. Sadarlah
dinda, beliau berdua kakak beradik bertikai karena diadu domba oleh pihak
lain. Janganlah dinda turut memihak dalam pertikaian itu karena tidak
direstui Yang Maha Kuasa. Sebagai seorang kesatria, ingatlah selalu riwayat
leluhur kita yaitu Sri Jayakata dan Sri Jayawaringin ketika dilarikan ke
Tumapel setelah gugurnya Sri Jayakatong. Bukankah leluhur Ide Bethara Sri
Kresna Kepakisan yang menyelamatkan leluhur kita ? Dan kedatangan
leluhur kita ke Bali-pun mengiringi Dalem Sri Kresna Kepakisan.
Jadi kita harus tetap berbakti kepada sentanan Dalem Sri Kresna
Kepakisan, dalam hal ini baik Dalem Wayan maupun Dalem Tarukan
sama-sama kita hormati. Kini keadaan berubah; Dalem Ketut sudah
memimpin kerajaan. Oleh karena itu untuk apa dinda masih terus memburu
Dalem Tarukan ? Keputusan dinda untuk menetap di Bugbug Tegeh kanda
hargai sebagai suatu keputusan yang bijaksana"
Mendengar wejangan Kiyai Poh Tegeh seperti itu legalah perasaan Kiyai
Parembu. Mereka lalu bersantap malam dan berbincang-bincang dengan
gembira sampai larut malam. Tiba waktunya tidur, Kiyai Parembu bersama
putranya disilahkan menempati ruangan yang telah disediakan. Sekali lagi
Kiyai Wayahan Kutawaringin bertemu pandang dengan gadis yang sore tadi.
Goyah rasanya lutut beliau karena tak kuasa menahan dentuman api
asmara yang melesat dari kerlingan si gadis.
Kiyai Poh Tegeh segera mengenalkan gadis itu kepada Kiyai Wayahan
Kutawaringin seraya berkata : "nanak Winihayu Luh Toya, ini masih saudara
sepupumu bernama Kiyai Wayahan Kutawaringin. Ini ayahnya bernama
Kiyai Parembu" Si gadis mengangguk manja terus menghilang di balik pintu.
Malam itu Kiyai Wayahan tidur gelisah sampai ayam berkokok
menjagakannya. Setelah berpamitan berangkatlah kedua si ayah dan anak
itu pulang ke Bugbug Tegeh. Di perjalanan, Kiyai Wayahan tiada
henti-hentinya berbisik di hati: "dinda Winihayu apakah dinda merasakan
apa yang terpendam di hatiku" Hingga beberapa hari setibanya di Bugbug
Tegeh, Kiyai Wayahan terus saja terkenang pada Winihayu. Hal ini diketahui
oleh ayahnya.
Singkat cerita lama kelamaan diketahui bahwa Winihayu sama-sama jatuh
cinta juga kepada Kiyai Wayahan. Kedua orang tua-tua lalu berunding,
akhirnya terjadilah pernikahan Kiyai Wayahan Kutawaringin dengan
Winihayu Luh Toya. Dari perkawinan ini lahir dua orang putra, yaitu: Kiyai
Panida Waringin, meninggal dunia pada usia muda, dan Kiyai Tabehan
Waringin yang kelak di kemudian hari melanjutkan keturunan warga Arya
Kutawaringin. Pernikahan antara Kiyai Wayahan Kutawaringin dengan
Winihayu Luh Toya menyebabkan Kiyai Wayahan ber-ipar dengan Dalem
Tarukan, karena sama-sama menikahi putri-putri Kiyai Poh Tegeh.
Karena hubungan kekeluargaan inilah menambah "kemalasan" Kiyai
Parembu untuk mengejar Dalem Tarukan. Patutlah dipuji strategi Kiyai Poh
Tegeh yang selalu berupaya menyelamatkan Dalem Tarukan.
Kembali diceritakan keadaan beliau, Ide Bethara Dalem Tarukan di desa
Pulasari. Tidak ada lagi pasukan yang mengejar-ngejar beliau, sehingga
kehidupan beliau aman tentram. Beliau meningkatkan ilmu kepanditaan,
sampai akhirnya mampu menjadi nabe bagi para dukuh yang setia mengikuti
beliau, yaitu: Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan, Dukuh Jatituhu, Dukuh
Darmaji, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek Daya, Ki Pasek Jatituhu, Ki Pasek
Pemuteran, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Penek, dan Ki Pasek Sikawan.
Kepada para putranya beliau memberikan bisama sebagai berikut:
"Putra-putraku, dengarkanlah bisama yang aku berikan kepadamu dan
segenap keturunanmu kelak di kemudian hari: Jika kamu meninggal dunia
dan diupacarai ngaben (pelebon), dibenarkan kalian menggunakan busana
sesuai dengan tata-cara sebagai seorang Raja beserta dengan segala
upacaranya, paling kecil menggunakan pemereman berupa padma
terawang, atau bade bertumpang tujuh, menggunakan banusa dengan galar
dari bambu kuning, tumpang salu dari bambu kuning, ma-ulon, ma-jempana,
kajang Pulasari, daun pisang kaikik, bale gumi berundak tujuh, bale
silunglung, damar kurung, serta upacara ngaskara selengkapnya.
Selain itu janganlah menerima panggilan "cai", tetapi terimalah panggilan :
Jero, Gusti dan Ratu. Bisama ini aku berikan kepadamu karena kamu
adalah keturunanku, keturunan Dalem" Pemberian bisama itu disaksikan
oleh para Dukuh dan para Pasek yang disebutkan di atas. Mereka
menyatakan akan selalu mentaati dan menjaga terlaksananya bisama itu.
Tiada berapa lama setelah memberikan bisama, Ide Bethara Dalem Tarukan
sakit selama tiga bulan lalu meninggal dunia pada hari Kamis Kliwon, wara
Ukir, panglong ping pitu, sasih kedasa, isaka 1321 atau bila dengan
kalender Masehi, pada hari Kamis, bulan April tahun 1399 M. Jika
diperkirakan beliau lahir pada tahun 1352 M (dua tahun setelah ayahanda :
Dalem Sri Kresna Kepakisan menjadi Raja Samprangan) maka Ide Bethara
Dalem Tarukan meninggal dunia pada usia 47 tahun.
Upacara pelebon Ide Bethara Dalem Tarukan dilaksanakan di setra
Tampuwagan pada hari Sabtu, Pahing, wuku Warigadean, panglong ping
pitu, sasih Jiyesta, rah tunggal, tenggek kalih, isaka 1321, atau bila dengan
kalender Masehi, pada hari Sabtu, bulan Juni tahun 1399 M. Manggala dan
pemuput karya upacara pelebon adalah : Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan,
Dukuh Jatituhu, Kiyai Poh Tegeh, Ki Pasek Pemuteran, Ki Pasek Penek, Ki
Pasek Temangkung, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Sikawan, Ki Pasek Bunga, Ki
Pasek Jatituhu, dan I Gusti Ngurah Kubakal.
Tata laksana pelebon sebagai Raja, yaitu: pemereman bade tumpang pitu,
petulangan lembu nandaka ireng ditempatkan dengan kepala di arah Barat,
tirta pemuput dari Besakih, sulut pembakaran memakai keloping nyuh
gading, kayu bakar memakai kayu cendana. Setelah itu abu tulang
dihanyutkan di sungai Congkang. Sebulan kemudian diadakan upacara
meligia di mana abu "sekah" dipendem di cungkup sebuah Pura yang
dibangun sebagai Pedarman Ide Bethara Dalem Tarukan. Berhubung sudah
disucikan sebagai Bethara Raja Dewata, maka sejak saat meligia itu beliau
amari aran (berganti gelar) menjadi : Ide Bethara Dalem Tampuwagan
Mutering Jagat.
Selama berlangsungnya upacara pelebon dan meligia, tiada henti-hentinya
seluruh rakyat pegunungan mulai dari perbatasan barat: Bondalem
(Buleleng), perbatasan timur: Tianyar (Karangasem), perbatasan selatan:
Pantunan (Bangli) menghaturkan uang kepeng bolong dan bahan-bahan
"lebeng-matah" sebagai tanda bakti, setia, hormat, dan duka cita karena
ditinggalkan junjungan mereka. Aturan berupa makanan langsung disantap
oleh para putra, para Ibu, keluarga, serta semua yang hadir. Karena terlalu
banyak sampai tidak habis dimakan, dibiarkan membusuk sehingga
menimbulkan bau tidak sedap.
Setelah semua rangkaian upacara selesai, bau busuk dari sisa-sia
makanan, beras, uang kepeng bolong dan lain-lain makin menjadi-jadi, tidak
tahan menciumnya. Para putra lalu memerintahkan rakyatnya membuang ke
sungai, sampai air sungai itu berubah seperti bubur. Uang kepeng bolong
yang dihanyutkan menyangkut menutupi sumber mata air sungai. Rakyat
yang tinggal di hilir terheran-heran melihat air sungai berubah seperti bubur;
banyak yang mengambil nasi, tumpeng, beras itu untuk diberi makan anjing
atau babi.
Di sungai lainnya rakyat menemukan uang kepeng bolong yang sudah
bergumpal-gumpal berkarat tidak bisa digunakan lagi. Ide Bethara di sorga
loka melihat dengan sedih kejadian itu. Turunlah kutukan beliau sebagai
berikut: "Wahai para putraku, kalian telah menyia-nyiakan anugerah
dewata; maka kini terimalah kutukanku, mudah-mudahan kalian seketurunan
tidak akan menjadi kaya atau berkecukupan. Bila ada yang bisa kaya,
umurnya pendek lalu kematian menjemput sehingga keturunannya menjadi
miskin kembali" Para putra yang mendengar kutukan itu kebingungan dan
menyesali perbuatannya, namun apa hendak dikata karena itulah kehendak
Ide Sanghyang Widhi Wasa. Dengan perasaan tak menentu para putra
kembali ke pedukuhan Pulasari memulai hidup baru.
Aliran sungai yang berlimpah bubur dan uang kepeng bolong itu menuju ke
Kerajaan Suwecapura. Rakyat gempar berhari-hari, lalu menamakan kedua
sungai itu masing-masing : Tukad Bubuh dan Tukad Jinah. Berita ini sampai
ke istana Dalem Ketut (Dalem Sri Semara Kepakisan). Tahulah beliau
bahwa kakak beliau telah meninggal dunia dan di-pelebon di pegunungan.
Sedih hati beliau mengenang nasib Ide Bethara Raja Dewata yang
sebahagian besar hidupnya dihabiskan di pengungsian. Beliau Dalem Ketut
ingin memelihara putra-putra Ide Bethara Raja Dewata yang jelas masih
kemenakannya sendiri.
Keesokan harinya dipanggillah Kiyai Kebon Tubuh lalu ditugaskan
menjemput para kemenakan beliau itu ke hutan-hutan di pegunungan untuk
diajak ke Gelgel. Disertai pengikut 50 orang, berangkatlah Kiyai Kebon
Tubuh menuju utara. Setelah menempuh perjalanan berhari-hari, sampailah
Kiyai di pedukuhan Pulasari. Kiyai berdatang sembah kepada para putra:
"Mohon ampun, paduka para putra Dalem, hamba diutus oleh Paman
paduka, Sri Aji Semara Kepakisan untuk menjemput paduka sekalian diajak
pulang ke istana Suwecapura"
Para putra yang dipimpin oleh putra tertua : Dewa Bagus Dharma ragu-ragu
pada kebenaran maksud baik dari ucapan sang Kiyai. Bertahun-tahun para
putra menghadapi kenyataan bahwa ayahanda beliau dimusuhi oleh
saudara sekandung beserta menteri dan rakyat kerajaan, kini tiba-tiba ada
utusan yang bernada membujuk menjanjikan kebaikan budi. Bukankah ini
suatu perangkap untuk mencelakakan para putra sehingga jika dapat, agar
musnahlah keturunan Ide Bethara Raja Dewata.
Berpikir demikian, Dewa Bagus Dharma kemudian menolak permintaan
sang Kiyai seraya menyatakan bahwa beliau beserta adik-adik tidak akan
meninggalkan pedukuhan Pulasari. Kiyai Kebon Tubuh tidak berhasil
membujuk para putra, lalu kembali ke istana Suwecapura. Betapa duka hati
Dalem Ketut mendengar laporan Kiyai Kebon Tubuh; dimintanya Kiayi
mengulangi kunjungan ke Pulasari membujuk para putra agar mau pulang
ke Suwecapura.
Walaupun sampai tiga kali utusan ini pulang balik, para putra tetap tidak
mau datang ke Suwecapura. Ini menimbulkan kemarahan Dalem Ketut,
sehingga keluarlah perintah beliau untuk menangkap para kemenakan
beliau dibawa paksa pulang ke Suwecapura. Kiyai Kebon Tubuh lalu
mengerahkan prajurit dalam jumlah besar dengan persenjataan lengkap.
Tidak kurang dari 2000 prajurit dibawa serta, namun bukan dari pasukan
Dulang Mangap.
Sementara itu pihak para putra yang dipimpin oleh Dewa Bagus Dharma
Page 19 of 28 .
telah mengetahui gerakan musuh yang menjalar bagaikan ular besar dari
arah selatan. Kakek beliau, I Gusti Poh Tegeh bersama kerabatnya yaitu I
Gusti Ngurah Kubakal mempersiapkan pertahanan rakyat di desa Pesaban,
Tembuku, dan Timuhun. Perang besar yang tidak seimbang berkecamuk
dengan dahsyat, membawa korban banyak di pihak pasukan I Gusti Poh
Tegeh. Dapat dimaklumi karena pasukan ini bukan prajurit terlatih, hanya
bermodalkan semangat dan kesetiaan yang tinggi kepada ratunya.
Mayat-mayat yang jatuh ke sungai hanyut ke hilir akhirnya sampai ke
perbatasan kota Gelgel.
Dalem Ketut mendengar berita banyaknya korban rakyat biasa dalam
peperangan di pegunungan. Beliau lalu memerintahkan menghentikan
peperangan dan menarik pasukan Kiyai Kebon Tubuh kembali ke Gelgel.
Dalem Ketut menulis surat kepada I Gusti Poh Tegeh dibawa oleh utusan
beliau, sekali lagi Kiyai Kebon Tubuh bersama seorang Bendesa. Surat itu
diterima oleh I Gusti Poh Tegeh lalu dibaca di hadapan I Gusti Ngurah
Kubakal, dan I Gusti Ngurah Puajang: "Wahai kamu sekalian para Pasek di
pegunungan, serahkanlah para kemenakanku itu untuk aku asuh di Gelgel,
semata-mata karena belas kasihanku dan kerinduan serta keinginanku
untuk memelihara mereka sebagaimana layaknya para ratu keturunan
Dalem; peperangan hanya akan merugikan kita sendiri karena banyak
rakyat yang menjadi korban"
I Gusti Poh Tegeh berkata bahwa beliau masih akan membicarakan hal ini
kepada para putra, dan sementara agar Kiyai Kebon Tubuh pulang lebih
dahulu ke Gelgel; mungkin beberapa hari lagi beliau akan menyusul
mengantarkan para putra ke Gelgel. Gusti Poh Tegeh ingin memenuhi
perintah Dalem Ketut karena berpendapat bahwa maksud Dalem Ketut
sungguh-sungguh baik, namun perlu beberapa hari untuk meyakinkan
pendapatnya kepada para putra, terutama Dewa Bagus Dharma sebagai
putra tertua.
Sepulangnya Kiyai Kebon Tubuh, Gusti Poh Tegeh memanggil para putra
Ide Bethara Dalem Tampuwagan (d.h. Ide Bethara Dalem Tarukan) seraya
menyampaikan isi surat Dalem Ketut. Para putra belum sanggup memberi
persetujuan hari itu karena masih merasa khawatir akan masa depan
mereka di Gelgel sementara mereka sudah betah dan berbahagia tinggal di
pegunungan. Gusti Poh Tegeh mempersilahkan para putra untuk berpikir
beberapa hari agar mendapat pertimbangan yang matang sebelum
mengambil keputusan.
Namun tiba-tiba tanpa diduga sama sekali datanglah gelombang serangan
yang dahsyat dari para Manca Badung dipimpin oleh I Gusti Gede Kaler
disertai Arya Kenceng, Ngurah Mambal, Ngurah Menguwi, dan I Gusti
Ngurah Telabah. Gerakan ini sangat mengejutkan dan mengherankan para
tokoh pegunungan seperti Gusti Poh Tegeh serta para kerabatnya. Beliau
cepat berpikir bahwa gerakan ini bukan perintah Dalem Ketut, melainkan
gerakan para arya yang merasa khawatir bila para putra Dalem
Tampuwagan kembali ke Gelgel pasti akan diberi kedudukan sebagai
Manca yang akan berakibat kedudukan mereka tergeser. Jadi tujuan
serangan kali ini adalah membunuh para putra. Naluri jiwa kesatria Gusti
Poh Tegeh bangkit lalu bersama para kerabatnya memimpin perang
mempertahankan dan melindungi para putra. Perang berkecamuk seru
berhari-hari, namun segera terlihat kekuatan yang tidak seimbang. Pasukan
bertahan yang dipimpin I Gusti Agung Bekung bersama Dewa Bagus
Dharma dipukul mundur meninggalkan mayat prajurit sekitar 5000 orang.
Pada suatu pagi hari di saat hujan rintik-rintik dan matahari baru bersinar
terang-terang tanah gugurlah Dewa Bagus Dharma, putra tercinta Ide
Bethara Dalem Tampuwagan. Para Kakek, adik-adik beliau serta seluruh
rakyat pegunungan berduka cita sedalam-dalamnya. Beliau sebenarnya
mempunyai ilmu kekebalan tubuh pembawaan sejak lahir, namun di saat
fajar kekebalan itu sirna sementara; rupanya kelemahan ini diketahui
musuh. Beliau direbut berpuluh-puluh prajurit I Gusti Gede Kaler di saat
fajar. Tempat gugurnya diberi nama Siang Kangin. Di situ pula layon beliau
diupacarakan dan distanakan pada pelinggih yang dibangun, selanjutnya
dinamakan Pura Siang Kangin.
Sejak gugurnya Ide Bethara Siang Kangin, rakyat pegunungan menderita
kekalahan terus-menerus dalam peperangan. Untuk mencegah korban yang
lebih banyak maka para pemimpin rakyat pegunungan berunding lalu
mengambil keputusan untuk menyelamatkan para putra Ide Bethara Dalem
Tampuwagan. Cara menyelamatkan para putra disepakati sebagai berikut :
Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari diiringi ibunda beliau Gusti Luh
Puwaji beserta empat orang saudaranya ke Puri Gelgel meminta
perlindungan Dalem Ketut. Gusti Gede Bandem pergi ke Desa Keling
(Karangasem). Gusti Gede Belayu berangkat kearah Tabanan, menetap di
suatu tempat yang kini bernama Desa Belayu. Gusti Gede Balangan
menetap di Desa Pantunan atas jaminan keselamatan dari Gusti Agung
Pasek Gelgel. Gusti Gede Dangin atas permintaan beliau, tidak mau turut ke
Gelgel, lalu berangkat menuju daerah Den Bukit (Buleleng) diiringi rakyat 12
orang, menuju Desa Sudaji. Demikianlah keenam bersaudara itu berpisah
menuju tempatnya masing-masing. Sedih dan pilu hati mereka karena harus
berpisah dan meninggalkan kampung halaman, namun pasrah
menyerahkan nasibnya kepada Ide Sanghyang Widhi Wasa.
Setibanya Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari di Puri Gelgel,
langsung menghadap Dalem Ketut Sri Semara Kepakisan. Betapa
gembiranya Dalem Ketut menerima kemenakan-kemenakan beliau, namun
terasa agak kecewa karena tidak semua kemenakannya mau hadir. Tetapi
akhirnya beliau maklum setelah mendapat penjelasan dari Gusti Agung
Pasek Gelgel bahwa keputusan untuk menuju tempat masing-masing sudah
dipertimbangkan dengan baik. Dalem Ketut kemudian memberikan
penugrahan kepada para kemenakannya sebagai berikut:
"Kemenakanku semua, janganlah kalian menyamai (memadai)
kedudukanku, karena kalian keturunan Kesatria yang telah diturunkan
wangsanya dan kini menjadi Wesia Dalem. Sebab-sebab diturunkan
wangsamu karena peristiwa di Puri Tarukan yang melibatkan kakakku Ide
Bethara Dalem Tampuwagan. Di kemudian hari bila kalian dan keturunanmu
melaksanakan upacara pelebon dibolehkan menggunakan tata-cara
seorang Raja karena kalian masih menjadi satu keturunan denganku.
Cuntaka hanya tiga malam sebagaimana halnya wangsa Brahmana,
Kesatria (para Ratu). Setelah cuntaka habis segeralah mebersih di mata
air, selanjutnya ngayab banten pebersihan; setelah itu barulah kembali
kesucianmu. Jika kalian berani menyamai kedudukanku, akan kukutuk
kalian tiga kali. Hal lain yang harus kalian ingat, janganlah melupakan
Pura-pura kahyangan jagat di seluruh Bali, serta janganlah mensia-siakan
para Pendeta/Sulinggih dan orang-orang suci agar jagat Bali selalu trepti.
Janganlah kalian melakukan hubungan suami istri di luar pernikahan karena
perbuatan itu akan membawa kehancuran sehingga orang-orang Bali tidak
lagi bersatu. Peringatan-peringatanku ini berlaku seterusnya sampai ke anak
cucu keturunanmu selanjutnya. Bila ada yang melanggar mudah-mudahan
menemui bencana dalam hidupnya"
Setelah berlalu beberapa masa, datanglah seorang keturunan Ide Bethara
Hyang Genijaya dari Majapahit bernama Sangkul Putih bersama istri dan
para putranya. Beliau mendarat di Padang lalu langsung ke Puri Gelgel
menghadap Dalem Ketut. Bertepatan saat itu Ide Dalem Ketut sedang
memberikan penugrahan kepada para putra Ide Bethara Dalem
Tampuwagan yang kali ini hadir secara lengkap, yaitu: Gusti Gede Sekar,
Gusti Gede Pulasari, Gusti Gede Bandem, Gusti Gede Belayu, Gusti Gede
Balangan, dan Gusti Gede Dangin, sehingga Sangkul Putih turut
mendengarkan wejangan beliau sebagai berikut: "Wahai para kemenakanku
semua, kini lanjutkan penugrahan yang telah kuberikan beberapa waktu
yang lalu sebagai berikut: Jika kalian memahami tentang kemoksan
seharusnya kalian menjadi seorang Sulinggih karena kalian adalah
seketurunan denganku, yaitu keturunan Brahmana.
Oleh karena itu pula kalian harus selalu berbakti di Kahyangan Brahmana di
Tolangkir (Besakih) jangan melewatkan upacara-upacara di sana sekalipun.
Jika kalian melupakan, kukutuk kalian menjadi orang Sudra dan kalian tidak
lagi menjadi seketurunan denganku. Demikian juga kalian harus berbakti di
Kahyangan Ide Bethara Hyang Genijaya yang ada di Lempuyang dan di
Tolangkir sesuai sabda Ide Bethara Brahma. Jika kalian melalaikan
peringatanku ini mudah-mudahan hidupmu susah senantiasa kekurangan,
kesasar tidak menemukan arah hidup. Kalian adalah keturunan Brahmana,
maka bila meninggal dunia, layon harus dibungkus oleh daun muda pisang
gedang Kaikik sebab ketika leluhur kita lahir beliau dialasi oleh daun muda
pisang gedang Kaikik. Jika tidak demikian kalian dan keturunan kalian bukan
warih Dalem.
Selanjutnya beliau Dalem Ketut bersabda : "Apa yang aku anugrahkan
kepadamu tadi dan selanjutnya ini adalah wahyu dari Ide Bethara Hyang
Genijaya yang berstana di Lempuyang. Kalian para kemenakanku,
janganlah lupa memuja dan memohon anugrah kepada Ide Bethara di
Penataran Agung, Tolangkir, juga kepada I Ratu Pande, I Ratu Gede
Penyarikan, serta nuntun para arwah leluhurmu untuk distanakan di tempat
keturunanmu. Taatlah melaksanakan kedharmaan, jangan menentang
peraturan-peraturan. Diantara keturunan-keturunanmu janganlah satu sama
lain tiada mengakui bersaudara, paling tidak mengaku memisan atau
memindon. Di mana pun kamu berada tetaplah mengaku bersaudara; jika
lupa atau tidak mengakui saudara, mudah-mudahan kamu kehilangan
"soda", yaitu selalu kekurangan makanan dan minuman.
Beberapa waktu kemudian, Ide Dalem Ketut kembali mengumpulkan para
kemenakan beliau (putra-putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan) lalu
meneruskan penugrahan yang diterima dari para putra-putri Sanghyang
Pasupati, yaitu Ide Bethara Mahadewa yang berstana di Tolangkir dan adik
beliau Ide Bethari Dewi Danu yang berstana di Danau Batur sebagai berikut:
Apabila diantara kalian atau keturunanmu di kemudian hari ada yang
mampu Madwijati, diperkenankan pada upacara pelebon menggunakan
padma trawang, pisang gedang kaikik, gamet (kapas), kesumba, serta
bertingkat 5 (nista), 7 dan 9 (madia), dan 11 (utama).
Itu adalah demi kesejahteraanmu. Jika mayat kalian dibakar, cuntake hanya
3 (tiga) malam; jika ditanam 7 (tujuh) malam; Jika mayat kalian dibakar,
harus dilakukan upacara ngeleb awu ke segara/sungai disertai upacara
ngirim; jika dilalaikan, mudah-mudahan kamu menjadi manusia yang
derajatnya paling rendah karena tidak membela kewangsaan serta tidak
mengenal kawitan.
Selanjutnya Dalem Ketut bersabda: "Kalian kemenakanku, walaupun kalian
telah disurud-wangsakan, namun kalian masih aku anugerahi hak-hak
sebagai berikut: seketurunan kalian tidak kena
kewajiban-kewajiban/pungutan (pajak), tidak kena pejah pajungan (hukuman
mati), tidak kena cecangkriman (pembuangan), tidak kena ambungan
(hukuman cambuk), tidak kena sasarandana (pungutan adat), tidak kena
pepanjingan (larangan masuk ke suatu wilayah), tidak kena pecatuan (iuran
di Pura), tidak kena perintah. Para penguasa di daerah, yaitu Manca dan
Punggawa diberitahu semua penugrahan Ide Bethara Dalem Ketut tersebut
untuk ditaati dan diindahkan, ditambah lagi penekanan agar mereka
senantiasa menghormati para kemenakan beliau seketurunan. Apabila ada
yang berani menentang atau tidak melaksanakan, mudah-mudahan hilang
kesaktiannya dan luntur kewibawaannya.
Beberapa waktu kemudian Ide Dalem Ketut memberikan tambahan
wejangan setelah mendapat wahyu dari Ide Bethara Brahma: "Jika kalian
dan keturunanmu meninggal, kalian harus memohon melalui Sangkulputih
tirta Yeh-Tunggang dari Gunung Agung sebagai tirta pengentas. Oleh
karena itu kawitan serta semua arwah leluhurmu berstana di Gunung Agung
(Tolangkir) sehingga kamu wajib berbakti kepada kawitan dan arwah
leluhurmu di Pedarmaan Besakih.
Bila ada keturunanmu yang sudah mebersih wenang naik-turun di
pelinggih-pelinggih di Tolangkir dalam upacara yadnya. Bila ada
keturunanmu yang mampu Madwijati/Madiksa, wenang mengajarkan ilmu,
sastra, dan kedharmaan kepada saudara-saudaranya sehingga menjadi
orang-orang yang terhormat serta diikuti petunjuk-petunjuknya oleh orang
lain. Jika semuanya kalian taati dan laksanakan dengan kokoh dan tekun,
mudah-mudahan kalian dapat mencapai moksah.Selain memberikan
penugrahan di bidang agama dan kedharmaan, Ide Dalem Ketut juga
memberikan "Mantri sesana", yaitu tata susila sebagai pejabat yang
bertugas dan berkedudukan sebagai berikut : I Gusti Gede Sekar sebagai
Page 23 of 28 .
Manca di Nongan diberikan tanah kebun 15 sikut disertai Ibunda beliau Ni
Gusti Luh Puaji. I Gusti Gede Pulasari kembali ke Pulasari sebagai Dukuh
menguasai pedukuhan Pulasari (Bunga), Tampuwagan, Peninjoan,
Karang-suwung, dan Manikaji. I Gusti Gede Bandem diberi kedudukan
sebagai Manca di Nagasari, meliputi: Tihingan, Kayuputih, Uma-anyar, dan
Bangkang. I Gusti Gede Belayu diangkat sebagai Manca di Ogang, meliputi:
Semseman, Mijil, Sanggem, Sangkan Gunung, Pakel, dan Sangkungan. I
Gusti Gede Balangan tetap tinggal di istana Gelgel. I Gusti Gede Dangin
kembali ke Sudaji.
Kecuali I Gusti Gede Dangin, semua putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan
diberikan pamancanggah yang memuat penugrahan tersebut di atas
ditambah dengan gambar rerajahan rurub kajang dan rerajahan daun pisang
Kaikik selengkapnya. Pamancanggah itu disahkan dan diumumkan oleh Ide
Dalem Ketut pada Hari Kamis, Umanis, wuku Ukir, panglong ping 13
(telulas) sasih Kapat, Isaka 1339 (1417 M). Pamancanggah itu
diupacarai/dipasupati sebagaimana mestinya. Sesampainya di tempat
kedudukan masing-masing, para putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan
menempatkannya di pelinggih pemerajan dan dipuja oleh seketurunan
beliau-beliau. Bila ada yang mengabaikan kewajiban memuja dan mentaati
pamancanggah itu mudah-mudahan dikutuk oleh Ide Bethara Kawitan.
Silsilah Ide Bethara Dalem Tarukan.
Sanghyang Pasupati berputra :
1. Bhatara Hyang Gnijaya
2. Bhatara Hyang Putranjaya
3. Bhatari Dewi Danuh
4. Bhatara Hyang Tugu
5. Bhatara Hyang Manikgalang
6. Bhatara Hyang Manikgumawang
7. Bhatara Hyang Tumuwuh
Bhatara Hyang Gnijaya berputra Mpu Withadharma (Sri Mahadewa)
Mpu Withadharma berputra :
1. Mpu Bhajrasattwa (Mpu Wiradharma)
2. Mpu Dwijendra (Mpu Rajakretha)
Mpu Bhajrasattwa berputra : Mpu Tanuhun (Mpu Lampita)
Mpu Tanuhun berputra :
1. Mpu Gnijaya
2. Mpu Sumeru (Mpu Mahameru)
3. Mpu Ghana
4. Mpu Kuturan (Mpu Rajakretha)
5. Mpu Bharadah (Mpu Pradah)
Mpu Bharadah berputra :
1. Mpu Siwagandu
2. Ni Dyah Widawati
3. Mpu Bahula
Mpu Bahula berputra :
1. Mpu Tantular (Mpu Wiranatha)
2. Ni Dewi Dwararika
3. Ni Dewi Adnyani
4. Ni Dewi Amerthajiwa
5. Ni Dewi Amerthamanggali
Mpu Tantular berputra :
1. Danghyang Kepakisan
2. Danghyang Smaranatha
3. Danghyang Sidhimantra
4. Danghyang Panawasikan
Danghyang Kepakisan berputra : Sri Soma Kepakisan
Sri Soma Kepakisan berputra :
1. Sri Juru (Dalem Blambangan)
2. Sri Bhima Sakti (Dalem Pasuruan)
3. Sri Kepakisan (Dalem Sumbawa)
4. Sri Kresna Kepakisan (Dalem Bali)
Sri Kresna Kepakisan berputra :
1. Dalem Samprangan
2. Dalem Tarukan
3. Dewa Ayu Wana
4. Dalem Sri Smara Kepakisan
5. Dewa Tegal Besung
Mpu Tanuhun (Mpu Lampita) berputra lima, yaitu Mpu Gnijaya, Mpu
Sumeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah. Kelimanya disebut
Panca Tirta. Mpu Gnijaya menurunkan Sapta Rsi, yaitu: Mpu Ketek, Mpu
Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu Withadharma, Mpu Ragarunting, Mpu
Preteka, dan Mpu Dangka. Beliau bertujuh selanjutnya, lama-kelamaan
menurunkan Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi. Saudara bungsu Mpu
Gnijaya yaitu Mpu Bharadah lama-kelamaan menurunkan Para Gotra
Sentana Dalem Tarukan atau dikenal sebagai warga Pulasari.
Adanya tali kekeluargaan seperti itulah yang disadari oleh warga Pasek di
pegunungan di saat beliau-beliau membantu dan menyelamatkan Ide
Bethara Dalem Tarukan di pengungsian sebagaimana telah diuraikan di
muka. Patutlah warga Pulasari berhutang budi kepada warga Pasek.
Kesadaran ini pula yang mungkin mendasari ide pembangunan Pura Pusat
Pulasari berdampingan dengan Pura Pasek.
Di Gelgel, semasa pemerintahan Ide Bethara Dalem Semara Kepakisan
dibangun pula Pura Dasar Bhuwana yang disungsung oleh warga keturunan
Ide Bethara Dalem Sri Kresna Kepakisan, Ide Bethara Mpu Gnijaya (Pasek
Page 25 of 28 .
Sanak Sapta Rsi), dan keturunan Ide Bethara Mpu Saguna (Maha Smaya
Warga Pande). Lama-kelamaan, disungsung pula oleh seluruh rakyat Bali,
mengingat di Pura Dasar Bhuwana distanakan Raja (Dalem) pertama di Bali.
"Kepakisan" asal katanya "Pakis" berarti Paku. Gelar Kepakisan diberikan
kepada Brahmana yang ditugasi sebagai Raja (Dalem) atau Kesatria. Gelar
Kepakisan yang diberikan kepada Kesatria adalah: Sira-Arya Kepakisan.
Beliau adalah keturunan Sri Jayasabha, berasal dari keturunan Maha Raja
Airlangga, Raja Kahuripan (Jawa). Gelar "Paku" di Jawa pertama kali
digunakan oleh Susuhunan Kartasura: Paku Buwono I pada tahun 1706 M.
Di Bali gelar "Pasek" yang berasal dari perkataan "Pacek"(= paku) pertama
kali digunakan oleh Arya Kepasekan, yaitu putra Mpu Ketek yang termasuk
kelompok Sapta Rsi. Ada juga warga Pasek yang di luar kelompok Sapta
Rsi, yaitu keturunan dari Mpu Sumeru yang berputra Mpu Kamareka,
selanjutnya menurunkan warga Pasek Kayu Selem, Pasek Celagi, Pasek
Tarunyan, dan Pasek Kayuan. Beliau-beliau juga sangat besar jasanya
menyelamatkan Ide Bethara Dalem Tarukan.
Kesimpulannya bahwa gelar: Kepakisan, Paku, Pasek bermakna dan
berderajat sama yaitu sebagai fungsi kekuasaan atau pemimpin di suatu
wilayah tertentu atau pemimpin suatu penugasan/jabatan tertentu yang
didelegasikan oleh Dalem (Kaisar = Maha Raja, atau Raja)
Bisama Ide Bhatara Dalem Tarukan.
Yang dimaksud dengan Bisama Ide Bhathara Dalem Tarukan adalah pesan
beliau yang bersifat sakral ditujukan kepada semua keturunan beliau
menyangkut tentang hak, kewajiban, larangan, dan keharusan dalam
penyelenggaraan kehidupan, hal mana bila dilanggar dipercaya akan
mendapat kutukan dan akan mendatangkan bencana.Dari riwayat beliau
dicatat Bisama-Bisama sebagai berikut : 1. Tidak merabas pohon atau
memakan buah: Jawa, Jali.
2. Tidak mengurung, membunuh, atau memakan daging burung Puyuh dan
Perkutut.
3. Tidak memakan beras mentah.
4. Mayat yang dikubur atau dibakar kepalanya di arah Barat.
5. Tidak memelihara dan memakan daging Manjangan.
6. Tidak menerima sebutan/ucapan: "cai" dan "cokor I Dewa"
7. Boleh menerima sebutan/ucapan: "Jero", "Ratu", "Gusti"
8. Upacara pelebon boleh menggunakan: • Sebagaimana
layaknya seorang Raja.
• Pemereman Padma Terawang
• Pemereman Bade Tumpang Pitu
• Benusa
• Tumpang salu dari bambu “ampel” kuning
• Ulon
Page 26 of 28 .
• Jempana
• Rurub Kajang Pulasari
• Daun Pisang Kaikik
• Bale Gumi berundak tujuh
• Bale Silunglung
• Damar kurung
• Upacara ngaskara lengkap 9. Tidak membuang atau
menyia-nyiakan makanan, minuman, dan uang.
Penugrahan
Yang dimaksud dengan penugrahan adalah wewenang, kedudukan dalam
jabatan Pemerintahan Kerajaan, ijin menggunakan atribut pada saat
upacara Manusia yadnya, Resi yadnya, dan Pitra yadnya yang diberikan
oleh Dalem atau Pejabat yang berkuasa pada saat penugrahan itu diberikan
kepada warga Pulasari. Penugrahan juga melingkup tata kehidupan lainnya,
seperti hubungan persaudaraan, hubungan sosial, keharusan mentaati
ketentuan-ketentuan adat dan agama, dan lain-lain.
Penugrahan pertama yang tercatat dalam Babad Pulasari adalah
penugrahan yang dikeluarkan oleh Ide Bethara Dalem Sri Semara
Kepakisan.
Dalam perkembangan sejarah, penugrahan itu ada yang diubah, ditambah,
dan dikurangi sesuai dengan politik pemerintah/kerajaan atau penguasa
setempat di pemukiman warga Pulasari.
Dari Babad Pulasari dicatat penugrahan Ide Bethara Dalem Sri Semara
Kepakisan sebagai berikut :01. Warga Pulasari telah "kesurud wangsa"-kan
menjadi Wesia Dalem sehingga diminta untuk tidak
“memada-mada” Dalem.
02. Namun demikian dalam upacara pelebon dibolehkan menggunakan tata
cara seorang Raja.
03. Cuntaka kematian : Bila dibakar, 3 malam; bila ditanam, 7 malam
04. Selalu berbakti di Pura-pura Kahyangan Jagat Bali
05. Selalu bakti dan ingat pada Pedanda dan orang-orang suci.
06. Jangan melakukan hubungan suami-istri di luar perkawinan (berzina)
07. Bila mampu dapat mempelajari kemoksaan sehingga menjadi seorang
Dwijati dengan gelar Bhagawan, karena warga Pulasari (Pagosedata) masih
berdarah Brahmana; karena itu wajib pula berbakti di Pedarmaan Brahmana
di Besakih serta pelinggih Ide Bethara Hyaang Gnijaya di Tolangkir dan di
Lempuyang, pelinggih I Ratu Pande dan I Ratu Gede Penyarikan di Besakih.
08. Semua warga Pulasari satu sama lain harus tetap mengaku bersaudara,
paling tidak mengaku memisan atau memindon.
09. Pedoman upacara pelebon: bagi Sulinggih: pemereman padma trawang
bertingkat : 5,7,9, atau 11, daun pisang Kaikik, gamet, kesumba.
10. Jika mayat dibakar (bakar biasa atau pelebon) wajib melaksanakan
upacara ngeleb awu ke sungai atau laut.
Page 27 of 28 .
11. Dibebaskan dari: pajak, pejah panjungan, cecangkriman, ambungan
lalang, sasasrandana, pepanjingan, pecatuan dan perintah. Para Manca dan
Punggawa agar mentaati ketentuan ini.
12. Pada upacara kematian agar meminta tirta pengentas "Yeh-Tunggang"
dari Tolangkir melalui Ki Pemangku.
13. Jabatan yang diberikan: Gusti Gede Sekar sebagai Manca di Nongan,
Gusti Gede Pulasari sebagai Dukuh di Pulasari, Gusti Gede Bandem
sebagai Manca di Nagasari, dan Gusti Gede Belayu sebagai Manca di
Ogang.
14. Kepada para putra yang menduduki jabatan-jabatan tersebut diminta
untuk:
1. Melaksanakan ajaran agama dengan sebaik-baiknya.
2. Memahami ketentuan-ketentuan catur warna
3. Memahami dan melaksanakan asta beratha
4. Menghormati dan menjaga kesucian Pura-Pura Sad Kahyangan
5. Meningkatkan pengetahuan
6. Menghormati dan menjunjung Pemerintah
7. Menghormati dan menjunjung para Pendeta
8. Tidak melakukan perkawinan yang dilarang yaitu mengawini perempuan
yang tidak patut dikawini: saudara sebapak / seibu / sekandung, anak guru,
wanita yang lebih tua, saudara Bapak / Ibu, anak Paman/Bibi, wanita yang
mempunyai suami, wanita yang statusnya lebih tinggi.
----------@---------
Daftar Pustaka :
1. Babad Pulasari, Gedong Kirtiya, Singaraja
2. Babad Pulasari, Puri Agung Klungkung
3. Babad Pulasari, Kantor Dokumentasi Budaya Bali, Prop. Bali, 1998
4. Babad Dalem, Drs. I.B.Rai Putra, Upada Sastra, Denpasar, 1991
5. Babad Pasek, I Gusti Bagus Sugriwa, Pustaka Balimas, Denpasar, 1957
6. Babad Arya Kutawaringin, Drs. I.B.Rai Putra, Upada Sastra, Denpasar,
1991
7. Babad Bali Agung, Seri KGP Bendesa Manik Mas, Rsi Bintang Dhanu
Manik Mas dan I N Djoni Gingsir, Yayasan Diah Tantri, Jakarta, 1996